KERIS adalah
senjata tradisional khas Indonesia yang dalam perkembangannya budaya
keris mengikuti perjalanan sejarah dan kini budaya ini telah tersebar
hingga ke negara-negara lain. Selain Indonesia, negara yang kini
memiliki budaya ini adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja,
Thailand dan Di Pulau Jawa, keris digolongkan sebagai salah satu cabang
budaya tosan aji.
Selain itu, karena
budaya tosan aji memang bermula dan Pulau Jawa, banyak istilah
perkerisan dari daerah ini yang juga digunakan di daerah-daerah lainnya.
Di Pulau Jawa, juga disebut curiga, duwung, atau wangkingan. Di Pulau
Bali, senjata itu disebut kadutan atau kedutan. Di daerah lain, sebutan
lain di antaranya adalah tappi, selle, gayang, kres, kris atau karieh.
Budaya ini sudah dikenal oleh orang Barat setidaknya sejak abad ke-17.
Catatan tertua mengenai ada-nya keris di Inggris menyebutkan bahwa pada
tahun 1637, sudah dimiliki oleh seorang kolektor.
Sedangkan
Museum Denmark mengkoleksi keris sejak tahun 1647. Istilah keris,
selain nama padanannya yang lain, digunakan oleh semua suku bangsa di
Indonesia. Istilah ini bahkan juga dipakai oleh orang Brunei dan
Malaysia, tetapi sebagian orang Barat ada yang masih ragu untuk memilih
penggunaan kata dan ejaan keris atau kris atau kriss. Edward Frey
penulis buku The Kris, Mystic Weapon of the Malay World dalam kata
pengantar bukunya mengemukakan bahwa is tidak menemukan alasan untuk
mengganti penulisan ejaan “kris”, yang sudah digunakan lebih 150 tahun
oleh para peneliti (Barat). Disebutkan pula beberapa contoh penulis
Barat yang menggunakan istilah keris, di antaranya Raffles yang memakai
istilah kris sejak tahun 1817; Wallace sejak 1869; McNair sejak 1882,
Groneman sejak 1910, dan sederet penulis dan peneliti Barat lainnya
Penulis Barat yang menggunakan istilah kriss, juga ada, di antaranya
adalah Forbes (1885); Huyser (1918); dan Buttin (1933). Sedangkan yang
masih menggunakan istilah “keris”, di antaranya adalah Wolley, Hill,
Gardner, dan juga Garret & Bronwen Solyom.
merupakan
hasil seni tempa, yang bahan-bahannya harus terdiri dari sedikitnya dua
jenis logam, tetapi yang baik dibuat dari tiga jenis logam, yaitu besi,
bahan pamor, dan baja. Dengan demikian, sebuah benda yang dibuat dengan
cara dicor atau dicetak tidak digolongkan sebagai keris, walaupun
bentuknya persis. Selain itu, harus selalu condong ke depan, tunduk.
Sebuah benda yang tegak dan lurus seperti be-lati, tidak bisa dianggap
sebagai keris.
Asal usul keris
tosan
aji dan senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia,
tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan
candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa
bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang
cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang
bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal
budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat
meraba-raba.
Gambar timbul (relief)
paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti
batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa
Tengah. Melihat bentuk tuhsannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat
pada sekitar tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa.
Bahasa yang dipakai ada-lah bahasa Sanskerta. Prasasti itu menyebutkan
tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan
prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit
kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan buatan Nyi
Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis
kendi, kalasangka, dan bunga teratai. Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno
adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian,m
sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.
Sudah
banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan
perkembangan tosan aji . G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori
bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman
prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengatikan pan dihilangkan
pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu
senjata itu dapat di-genggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah
senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu. Sementara itu
GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya itu baru
timbul pada abad ke-14 dan ke-15.
Katanya,
bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak
digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan
Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek
atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan
lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang tidak mudah dibawa
ke mana-mana, sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu
tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, mata tombak dilepas dan
tangkainya sehingga menjadi senjata genggam. Lain lagi pendapat A.J.
BARNET KEMPERS.
Pada tahun 1954 ahli
purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan
bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. kris yang hulunya
berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan
bilahnya, oleh Barnet Kempers tidak dianggap sebagai barang yang luar
biasa. Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dongson juga
berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan
manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malangkerik, bahasa
Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan,
pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.
Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan
perkembangan bentuk senjata di Eropa Di benua itu, dulu, pedang juga
distilir dari bentuk manusia dengan kedua tangan terentang lurus ke
samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen,
dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.
Dalam
kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu yang berbentuk manusia
(yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula
yang berjongkok. Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang
ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan
kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk
hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan
ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dan
sebagainya. Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri
dengan agak membungkuk oleh sebagian ahli di-artikan sebagai lambang
orang coati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap
sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kela-hiran,
persalinan, kesuburan, atau kehidupan.
Sama
dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya. Ada sebagian ahli
bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia
sebelum abad ke-14 atau ke-15. Mereka mendasarkan teorinya pada
kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-can-di
yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAM-FORD RAFFLES dalam
bukunya History of Java (1817) mengatakan bahwa tidak kurang dari 30
jenis senjata yang dimiliki dan digunakan oleh prajurit Jawa waktu itu
termasuk senjata api, tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris
menempati kedudukan yang istimewa. Disebutkan dalam bukunya itu bahwa
prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah sekaligus.
tosan
aji yang dikenakan di pinggang sebelah kiri berasal dari pem-berian
mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung).
Keris yang dikenakan di pinggang kanan berasal dari pemberian
orangtuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia
perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku
yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang
sejarah dan asal usul budaya keris. Sementara itu istilah `keris’ sudah
dijumpai pada be-berapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang
ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi,
menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai
daerah bebas pajak. Sesaji itu antara lain berupa kres, wangkiul, tewek
punukan, wesi penghatap. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak; tewek
punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwi-sula.
Pada
lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut
bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit yang membawa
senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di
Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa
yang membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi
Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada arca raksasa penjaga, yang
menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris. Sementara itu, edisi
pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A. VAN DER Lint menyebutkan,
sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi,
itu dibongkar, ditemukan sebilah kris tua.
Keris
itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk itu tidak serupa
dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini
kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan
me-ngenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog •
Kerajaan (Belanda) jilid V, tahun 1909. Di katalog itu dikatakan bahwa
keris itu tergolong `keris Maja-pahit`, hulunya berbentuk patung orang,
bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang
diberi nomor seri 1834 itu adalahpemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris
kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya
pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu
28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus,
tidak memakai luk.
Mengenai keris
ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah
diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres
sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa
kemudian, jauh hari setelah Candi borobudur selesai dibangun. Jadi bukan
pada waktu pembangu-nannya. Ada pula yang menduga bahwa budaya ini
sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini
didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi.
Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian
Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja
Jawa menghadialikan kepada Kaisar Tiongkok “a short swords with hilts of
rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari cula
badak atau emas).
Bisa jadi pedang
pendek yang dimaksud dalam laporan itu adalah prototipe seperti yang
tergambar pada relief Candi Borobudur clan Prambanan. Sebilah kerns yang
ditandai dengan angka tahun pada bilahnya dtmiliki oleh seorang Belanda
bernama Knaud cli Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah itu
selain terdapat gambar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264,
atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi
Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang
terdapat patung raksasa Kala yang menyandang kris pendek lurus. Gambar
yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung Siwa yang berasal
dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14.
Digambarkan
Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelas ini
bukan tiruan patung Dewa Siwa dad India, karena di India tak pernah
ditemui patung Siwa memegang kris. Patung itu kini tersimpan di Museum
Leiden, Belanda. Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang
dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding
reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun
pada tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan
Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang dilukis di
belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi
yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran.
Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.
Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang
musafir Cina bernama Mn HUAN.
Dalam
laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi, ia menuliskan
pengalam-annya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit. Ketika itu ia
datang bersama rombongan Laksa-mana Cheng-ho atas perin-tah Kaisar Yen
Tsung dart dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir
scmua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak,
bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah
semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas yang dimaksud adalah
keris. Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin
stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of
gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shape of human or devil faces
and finished carefully. Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu
telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan
gambaran gads-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini
dibuat dengan baba berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat
dan emas, cula badak, atau gading. Tak pelak lagi, tentunya yang
dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal
sekarang ini.
Gambar
timbul mengenai cara pembuatan dapat disaksikan di Candi Sukuh, di
lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
candra sengkala memet di candi itu terbaca angka tahun 1316 Saka atau
1439 Masehi. Cara pembuatan keris yang digambarkan di candi itu tidak
jauh berbeda dengan cara pembuatan keris pada zaman sekarang, baik
peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris,
tombak, kudi, dan lain sebagainya.
Sumber : duniakeris.com
Sumber : duniakeris.com